Sabtu, 27 Februari 2010

Standar Pelayanan Nikah dan Rujuk di KUA Kec. Gayungan Kota Surabaya Berdasarkan PMA 11 TH 2007

1. PEGAWAI  PENCATAT   NIKAH   DIJABAT   OLEH   KEPALA   KUA,  YANG  MELAKUKAN 
    PEMERIKSAAN PERSYARATAN, PENGAWASAN DAN PENCATATAN PERISTIWA NIKAH  
    DAN   RUJUK,  PENDAFTARAN   CERAI   TALAK,  CERAI   GUGAT   SERTA  MELAKUKAN 
    BIMBINGAN PERKAWINAN;
2. PEMBERITAHUAN    KEHENDAK  NIKAH   DILAKUKAN   SECARA    TERTULIS   DENGAN 
    MENGISI     FORMULIR    PEMBERITAHUAN  ( N7 )    DAN   DILENGKAPI   PERSYARATAN 
    SEBAGAI  BERIKUT :
    - SURAT KETERANGAN UNTUK MENIKAH DARI KEPALA DESA/LURAH (N1);
    - FOTO COPY AKTA KELAHIRAN / SURAT  KENAL LAHIR, FOTO  COPY KTP DAN FOTO
      COPY KARTU KELUARGA;
   - MENGISI SURAT KETERANGAN ASAL-USUL CALON MEMPELAI DARI KEPALA
  DESA/LURAH (N2);
  - SURAT PERSETUJUAN KEDUA CALON MEMPELAI (N3);
  - SURAT KETERANGAN TENTANG ORANG TUA (IBU DAN AYAH) DARI KEPALA
  DESA/LURAH/PEJABAT SETINGKAT (N4);
   - IZIN  TERTULIS ORANG  TUA  ATAU  WALI  BAGI  CALON  MEMPELAI  ( PRIA/WANITA ) 
    YANG   BELUM  MENCAPAI  USIA 21 TAHUN, SERTA  IZIN  DARI  PENGADILAN  AGAMA 
    JIKA IZIN DARI KEDUA ORANG TUA ATAU WALINYA TIDAK ADA(N5);
  - DISPENSASI    DARI    PENGADILAN    AGAMA    BAGI   CALON    SUAMI   YANG  BELUM
     MENCAPAI UMUR 19 TAHUN DAN BAGI CALON ISTRI YANG BELUM MENCAPAI UMUR
    16 TAHUN;
  - SURAT IZIN DARI ATASANNYA/KESATUAANNYA JIKA CALON MEMPELAI ANGGOTA
     TNI/POLRI;
  - PUTUSAN PENGADILAN BERUPA IZIN BAGI SUAMI YANG HENDAK BERISTRI LEBIH
     DARI SEORANG;
  - AKTA CERAI  DARI  PENGADILAN  AGAMA  BAGI  PASANGAN  CALON  SUAMI / ISTRI
    YANG  BERSTATUS DUDA/JANDA (CERAI TALAK/CERAI GUGAT);
  - KUTIPAN BUKU PENDAFTARAN TALAK / BUKU  PENDAFTARAN  CERAI BAGI MEREKA
    YANG    PERCERAIANNYA    TERJADI    SEBELUM    BERLAKUNYA    UNDANG-UNDANG
    NOMOR  7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA;
  - AKTA KEMATIAN ATAU SURAT KETERANGAN KEMATIAN CALON SUAMI/ISTRI YANG
    DIBUAT  OLEH  KEPALA DESA / LURAH ATAU PEJABAT SETINGKAT BAGI JANDA/DUDA
    YANG DITINGGAL MATI (N6);
  - IZIN  UNTUK  MENIKAH   DARI  KEDUTAAN / KANTOR   PERWAKILAN   NEGARA  BAGI
    WARGA   NEGARA    ASING    DAN    HARUS    DITERJEMAHKAN   KE   DALAM  BAHASA
    INDONESIA OLEH PENERJEMAH RESMI;
3. PELAKSANAAN  AKAD  NIKAH  DILAKUKAN   DALAM   TENGGANG   WAKTU  10  HARI
    KERJA  SETELAH   PENDAFTARAN,  JIKA   DILAKUKAN   SEBELUM   MASA  TENGGANG
    WAKTU  TERSEBUT,  MAKA   HARUS   DILAMPIRI   SURAT   DISPENSASI   DARI  CAMAT
    SETEMPAT;
4. AKAD  NIKAH   DILAKSANAKAN  DI KANTOR  URUSAN  AGAMA  (KUA)  KECAMATAN
    SETEMPAT SETIAP HARI  KERJA  DARI  HARI  SENIN  S/D  JUM’AT PUKUL 07.30 S/D 15.30
    WIB;
5. AKAD  NIKAH  DAPAT  DILAKSANAKAN  DI  LUAR  KANTOR  URUSAN  AGAMA    ATAS
    PERMINTAAN  CALON  PENGANTIN  ATAU  WALI  SETELAH MENDAPAT PERSETUJUAN
    DARI PPN/KEPALA KUA KECAMATAN SETEMPAT
6. BIAYA  PENCATATAN   NIKAH   SEBESAR   Rp.  30.000,-  ( TIGA  PULUH  RIBU  RUPIAH  );
    BERDASARKAN    PERATURAN    PEMERINTAH    NOMOR   51   TAHUN   2000,   DISETOR
    LANGSUNG  OLEH  CALON MEMPELAI KE KAS NEGARA MELALUI BANK/KANTOR POS
    PENERIMA SETORAN PNBP;
7. MEMBEBASKAN   BIAYA   PENCATATAN  NIKAH / RUJUK   BAGI    PASANGAN   CALON
    PENGANTIN  YANG  TIDAK  MAMPU  DENGAN  MENUNJUKKAN  SURAT KETERANGAN
    MISKIN YANG DITANDATANGANI KEPALA DESA/LURAH YANG DIKETAHUI CAMAT;
8. BAGI CALON MEMPELAI ISTRI YANG AKAN MELANGSUNGKAN AKAD NIKAH DI LUAR
    WILAYAH  TEMPAT  TINGGALNYA, MAKA  HARUS   DILAMPIRI  SURAT  REKOMENDASI
    DARI KEPALA KUA KECAMATAN SETEMPAT;
9. SETELAH AKAD NIKAH,  BUKU  KUTIPAN  AKTA  NIKAH  (NA)  LANGSUNG DIBERIKAN
    KEPADA YANG BERSANGKUTAN.

Mengurus Pernikahan di KUA Kec. Gayungan Kota Surabaya

Mengurus Pernikahan di Kantor Urusan Agama
USIA BERAPA SEBAIKNYA ANDA MENIKAH?
Untuk calon suami : 25 Tahun
Untuk calon istri : 21 Tahun
APAKAH DI BAWAH UMUR SEBAGAIMANA TERSEBUT DI ATAS SEORANG CALON SUAMI/ ISTRI BELUM BOLEH MENIKAH?
Di bawah umur tersebut di atas tetap bisa menikah jika:
Mendapat ijin orang tua/wali sebelum usia 21 tahun. (UU No. 1 tahun 1974 pasal 6 ayat: 2)
Mendapat ijin/dispensasi dari Pengadilan Agama bagi calon suami yang belum berusia 19 tahun dan di bawah usia 16 tahun bagi calon istri. ((UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat: 2)
APABILA UMUR / USIA SUDAH CUKUP, PERSYARATAN ADMINISTRASI APA SAJA YANG HARUS DILENGKAPI?
1. Meminta surat keterangan dari kelurahan masing-masing:
    - Keterangan Untuk Nikah (Model N1)
    - Keterangan Asal-Usul (Model N2)
    - Keterangan Orang Tua (Model N4)
2. Menyerahkan pas foto ukuran 2×3, 3 lembar.
3. Photo copy KTP dan Kartu Keluarga (KK)
APABILA CALON PENGANTIN SUDAH PERNAH MENIKAH DAN SUDAH CERAI ATAU DITINGGAL MATI OLEH SUAMI/ISTRI, PERSYARATAN APAKAH YANG HARUS DILENGKAPI?
Duda/janda boleh menikah kembali dengan memenuhi persyaratan di atas, bagi Duda/janda Cerai harus dilengkapi dengan Akta Cerai dan Penetapan/ Putusan dari Pengadilan Agama dan bagi Duda/janda Mati harus dilengkapi Surat Keterangan Mati (Model N6) dari Kelurahan dan harus sudah lepas masa iddah.
KALAU CALON PENGANTIN ADALAH ANGGOTA TNI/POLRI, MASIH ADAKAH PERSYARATAN LAIN?
Bagi anggota TNI/POLRI, selain memenuhi persyaratan administrasi di atas juga harus dilengkapi dengan Surat Ijin kawin (SIK) dari Kesatuan.
BAGAIMANA JIKA AKAN MELAKSANAKAN PERNIKAHAN DENGAN ORANG ASING (WNA)?
Syarat-syaratnya adalah:
1. Calon suami/Istri yang WNI terlebih dahulu melengkapi surat-surat yang tersebut dalam persyaratan  
    administrasi.
2. Calon suami/istri yang WNA bervisa Turis atau untuk keperluan menikah saja harus melengkapi
     - Photo copy buku passport.
     - Surat Tanda Melapor Diri dari Polres/Polda.
     - Akta Kelahiran
     - Surat Keterangan/Ijin dari Kedutaan atau Perwakilan Diplomatik.
3. Calon suami/istri yang WNA bervisa kerja atau  sebagai  Tenaga Kerja Asing, selain syarat di atas harus    
    melengkapi:
   - Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Sementara.
   - Keterangan Ijin Masuk Sementara dari Imigrasi.
   - Surat Model K.II dari Kependudukan.
   - Tanda Lunas Pajak Asing.
  - Semua surat/dokumen yang tertulis dalam bahasa asing harus terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam 
     Bahasa Indonesia oleh Penterjemah Resmi (memiliki cap dan disumpah).
APAKAH SEORANG LAKI-LAKI YANG TELAH BERISTRI BOLEH MENIKAH LAGI (POLIGAMI)?
Bagi seorang laki-laki yang telah beristri boleh berpoligami setelah mendapatkan ijin poligami dari Pengadilan Agama.
(UU No. 1 tahun 1974 pasal 4 ayat: 1)
SETELAH PERSYARATAN TERSEBUT DIPENUHI, KE MANA HARUS MENDAFTAR?
Calon Pengantin/Wali Nikah membawa surat-surat tersebut ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Gayungan Kota Surabaya, Jl.Cipta Menanggal III-A No.1 Surabaya, Telp. (031) 8295158 (sesuai domisili pengantin wanita, atau di wilayah kecamatan di mana akad nikah dilaksanakan)
KAPAN PERSYARATAN TERSEBUT HARUS DISERAHKAN?
Persyaratan tersebut harus diserahkan 10 hari kerja sebelum akad nikah dilaksanakan untuk diteliti oleh penghulu. Calon pengantin dan wali nikah akan diperiksa dan menandatangani Persetujuan Nikah (Model N3) serta Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
APAKAH DALAM KEADAAN MEMAKSA, KURANG DARI 10 HARI KERJA TERSEBUT NIKAH TIDAK BOLEH DILAKSANAKAN?
Boleh dilaksanakan apabila telah mendapatkan Surat Dispensasi dari Camat Gayungan Kota Surabaya. (kecamatan sesuai domisili pengantin wanita atau di wilayah di mana akad nikah dilaksanakan)
(PP No. 9 tahun 1975 Pasal 3 ayat: 2)
UNTUK APA SELANG 10 HARI KERJA, DAN DI MANA AKAD NIKAH DILAKSANAKAN?
Selama selang 10 hari kerja akan digunakan untuk pengumuman kehendak nikah, pembinaan calon pengantin, dan melengkapi kekurangan-kekurangan. Adapun waktu dan tempat akad nikah ditentukan oleh kedua calon pengantin beserta keluarga dengan konfirmasi/persetujuan dari Penghulu.
JIKA ADA HAL YANG PERLU PENJELASAN LEBIH LANJUT, KE MANA HARUS BERTANYA?
Apabila ada hal-hal yang belum jelas silahkan untuk menghubungi Kantor Urusan Agama Kecamatan Gayungan Kota Surabaya Jl. Cipta Menanggal III-A No.1 Surabaya atau melalui telepon di (031) 8295158. ( atau di KUA Kecamatan dimana anda tinggal)

Sepuluh Wasiat untuk Para Istri

Istri memegang peranan yang sangat penting dalam istana keluarganya. Maka ia dituntut untuk memahami peranan tersebut lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan berkeluarga. Berikut ada beberapa wasiat untuk mereka yang berhasrat menjadi istri yang mendambakan keluarga bahagia. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Istri memegang peranan yang sangat penting dalam istana keluarganya. Maka ia dituntut untuk memahami peranan tersebut lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan berkeluarga. Berikut ada beberapa wasiat untuk mereka yang berhasrat menjadi istri yang mendambakan keluarga bahagia. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.
1.Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat
Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah. Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncang kerajaan. Oleh karena itu jangan engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah.
Wahai hamba Allah……..jagalah Allah maka Dia akan menjagamu beserta keluarga dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan menceraiberaikan keutuhannya.
Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata:”Aku mohon ampun kepada Allah….itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)….”Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:
-Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar.
-Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya dan sum’ah.
-Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang briman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang menolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan”(QS. Al Hujurat: 11).
-Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Rasulullah bersabda:”Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya”(HR. Muslim).
-Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pambantu dan pendidik-pendidik yang kafir.
-Meniru wanita-wanita kafir. Rasulullah bersabda:”Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka”(HR. Imam Ahmad dan Abu Daud serta dishahihkan Al-Albany).
-Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.
-Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah).
-Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan yang mendesak.
2.Berupaya mengenal dan memahami suami
Hendaknya engkau berupaya memahami suamimu. Apa –apa yang ia sukai, berusahalah memenuhinya dan apa-apa yang ia benci, berupayalah untuk menjauhinya dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khalik (Allah ‘Azza Wajalla).
3. Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik.
Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah bersabda:”Seandainya aku boleh memerintahkanku seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya”(HR. Imam Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albany).
Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Rasulullah bersabda:”Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali”(HR. Thabrani dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albany).
Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu. Dengan ketaatanmu pada suami dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjdai sebaik-baik wanita (dengan izin Allah).
4.Bersikap qanaah (merasa cukup)
Kami meninginkan wanita muslimah ridha dengan apa yang diberikan untuknya baik itu sedikit ataupun banyak.
Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Renungkanlah wahai saudariku muslimah, adabnya wanita salaf radhiallahu ‘anhunna…Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat kepadanya. Apakah itu??? Ia berkata pada suaminya:”Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka…”
5. Baik dalam mengatur urusan rumah tangga, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya.
Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.
6.Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya.
Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.
7.Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.
Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya. Renungkanlah wahai saudariku kedudukan Ummul Mukminin, Khadijah radhiallahu ‘anha, dalam hati Rasulullah walaupun ia telah meninggal dunia.. Kecintaan beliau kepada Khadijah tetap bersemi sepanjang hidup beliau, kenangan bersama Khadijah tidak terkikis oleh panjangnya masa. Bahkan terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyur sehingga menjadikan Rasulullah merasakan ketenangan setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali pertama:” Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menaggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran”.(HR. Mutafaq alaihi, Bukhary dan Muslim).
8.Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaannya.
Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat kau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu di hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hak-hakmu dengan membandingkan lautan keutamaan dan kebaikannya kepadamu.
9.Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).
Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya. Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapapun, maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi. Saudariku, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’I seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti atau orang yang engkau harapkan nasehatnya.
10.Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan.
Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya. Padahal Rasulullah telah melarang hal itu dalam sabdanya:”Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya”(HR. Bukhary dalam An-Nikah).
“Untuk para istri yang berhasrat menjadi penyejuk hati dan mata suaminya. Semoga Allah memeliharamu dalam naungan kasih sayang dan rahmatNya. Amin.”

Menikahi Wanita Hamil

Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang orang justru sering menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita simak pembahasannya !!
Status Nikahnya :
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat :*1
Pertama; Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya.*2 Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu’min.”3
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.4
Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melang-garnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinah-an.5 Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak.6 Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” 7
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan orang-orang yang membuat syari’at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik.*8
Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.*9
Ke dua : Dia harus beristibra’ (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya.*10
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda : Artinya, “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra’ dengan satu kali haid.*11
Di dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Juga sabdanya Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.*12
Mungkin sebagian orang mengata-kan, bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.” 13
Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan, “Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra’ dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.”*14
Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubung-an badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra’ dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah.
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.*15 Jadi anak itu tidak berbapak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” 16
Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasab-kan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.17
Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, “Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam : Artinya “Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” 18
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.19
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam. 20
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
* Anak itu tidak berbapak.
* Anak itu tidak saling mewarisi de-ngan laki-laki itu.
* Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”21
Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra’ dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?
Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang memboleh-kannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa ‘iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ‘iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepada-nya padahal pernikahan di masa ‘iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak.22
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).23
Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya.
Endnote :
(1)Minhajul Muslim. (2)Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/584, Fatawa Islamiyyah 3/247, Al Fatawa Al Jami’ah Lil Mar’ah Al Muslimah 2/5584. (3)An Nur : 3. (4)Fatawa Islamiyyah 3/246. (5)Ibid. (6)Ibid 33/245. (7)Asy Syruraa : 21. (8)Syiakh Al Utsaimin di dalam Fatawa Islamiyyah 3/246. (9)Ibid 3/247. (10)Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/583, Majmu Al Fatawa 32/110. (11)Lihat Mukhtashar Ma’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.( Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.) (12)Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76. (13)Fatawa Wa Rasail Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim 10/128. (14)Majallah Al Buhuts Al Islamiyyah 9/72. (15)Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828. (16)Al-Bukhari dan Muslim. (17)Taud-lihul Ahkam 5/103. (18)Al Bukhari dan Muslim. (19)Al Mabsuth 17/154. (20)At Tamhid 6/183 dari At Taisir. (21)Hadits hasan Riwayat Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.(22)Al-Mughniy 6/455. (23)Dinukil dari nukilan Al Bassam dalam Taudlihul Ahkam 5/104.

Nikah Sirri….. pikir-pikir dulu deh!!!

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Pembinaan Syariah, Muchtar Ilyas mengakui nikah siri dapat merendahkan martabat wanita dan mempersulit hak anak di masa datang.
Karena itu, berbagai persoalan yang merendahkan martabat wanita dalam UU Perkawinan yang sudah berlangsung puluhan tahun harus dihapus dan Departemen Agama (Depag) segera melakukan revisi, katanya di Jakarta, Kamis.
Ia memberikan penjelasan terkait makin maraknya perkawinan siri atau nikah di bawah tangan yang dianggap sah menurut agama. Bahkan masyarakat pun membenarkan sikap para selebritis yang nikah siri dengan berbagai argumentasi kurang pas menurut aturan hukum agama.
Depag. lanjut dia, sudah dua tahun membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) perkawinan sebagai revisi UU perkawinan sebelumnya. Namun selama dua tahun itu pula sudah tiga kali RUU bulak-balik dari Depag ke Sekretariat Negara (Sekneg).
Ada beberapa hal yang cukup penting dalam RUU, yang diperkirakan akan disampaikan ke legislatif pada tahun mendatang. Yaitu, soal pemberian izin bagi suami yang akan menikah lebih dari satu. Soal orang asing menikah dengan perempuan Indonesia, dan soal ancaman hukuman/sanksi bagi pria yang menikah tidak mencatatkan diri kepada Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurut Ilyas, barang siapa lelaki yang ingin menikah lebih dari satu, maka yang bersangkutan harus minta izin dari peradilan agama. Ini berbeda dengan UU perkawinan sebelumnya, yaitu cukup minta izin dari isteri pertama
Kenapa harus minta izin dari peradilan agama, menurut dia, bisa saja jika suami galak mengggebuki isteri. Setelah disiksa, baru dipaksa untuk tanda tangan persetujuan.
Dengan cara ini, katanya, diharapkan pria tak seenaknya memperlakukan wanita.
Jika ada warga negara asing ingin nikai wanita Indonesia, maka yang bersangkutan harus memberikan jaminan berupa bank garansi. Berapa besarnya dana yang harus dijadikan jaminan itu, ia tak menyebutkan. “Yang jelas, harus ada perlindungan bagi wanita,” tegasnya.
Seluruh perkawinan, kata dia, harus dicatat di KUA. Dengan cara demikian, hak anak dan wanita di mata hukum dapat benar-benar terjamin. Bagi yang melanggar akan diberikan sanksi denda yang besarannya masih dalam pembahasan.
Pada prinsipnya, produk hukum peradilan agama diharapkan juga bisa sejalan dengan produk hukum di negara ini. Dengan cara itu, ada ketegasan bahwa wanita benar-benar dapat perlindungan, kata Ilyas.
Ditambahkannya, produk RUU perkawinan sebagai revisi UU Perkawinan dalam prosesnya mengalami pro dan kontra di antara para pakar hukum, ulama dan organisasi swadaya masyarakat.
“Kita harapkan RUU itu, yang kini sudah di Sekneg, dapat diterima semua lapisan masyarakat,” ia menambahkan.

Hukum Islam Tentang Nikah Siri

HTI-Press. Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).

Ijab Qobul 3 Bahasa

IJAB :

BISMILLAAHIRROHMAANIRROOHIIM
ASTAGH FIRULLOOHAL’ADZIIM 3 X
ASY HADU ALLAA ILAAHA ILLALLOOH,
WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSUULULLOOH.

MR.________________________ SON OF _________________________
I MARRY OFF AND I WED OFF
MY REAL DAUGHTER ______________________ TO YOU,
WITH THE DOWRY _____________________ , IN CASH.

QOBUL :
I ACCEPT HER MARRIAGE AND WEDDING :

________________ DAUGHTER OF MR. ___________________

WITH THE DOWRY MENTIONED ABOVE IN CASH.


Ijab :

....3x …بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ - اَسْتَغْفِرُ الله الْعَظِيْمِ

اَشْهَدُ اَنْ لآاِلَهَ اِلاَّالله ُ- وَ اَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

SAUDARA/ANANDA _________________ BIN________________
SAYA NIKAHKAN DAN SAYA KAWINKAN ENGKAU DENGAN _____________________YANG BERNAMA :_______________________
DENGAN MASKAWINNYA BERUPA : ______________________, TUNAI.

Qobul :

SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA
_______________ BINTI _______________
DENGAN MASKAWINNYA YANG TERSEBUT TUNAI

Ijab : اَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَا نِ الرَّجِيْمِ * بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِِِ الرَّحِيْمِ * اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ ... ×3 مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِيْ وَالذُّنُوْبِ وَاَتُوْبُ ِالَيْهِ اَشْهَدُ اَنْ لآاِلَهَ اِلاَّالله ُ * وَ اَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ * بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ للهِ سَـيِّدِنَا مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِاللهِ وَعَلى آلِهِ وَاَصْحَا بِهِ وَمَنْ تَبِـعَهُ وَنَصَـَرهُ وَمَنْ وَّالَهُ. وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّبِاللهِ اَمَّا بَعْدُ : أُصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَي الله فَقَدْ فَازَالْمُتَّقُوْن. يَا ........... بِنْ ............ ! اَنْكَحْـتُكَ وَزَوَّجْـتُكَ ِابْنَتِيْ ................................ بِمَهْرِ .............. نَـقْدًا. 
Qobul : قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيـْجَهَا بِالْمَهْرِالْمَذْكُوْرِ نَـقْدًا